Pelajar hari ini adalah pemimpin masa depan negeri!
Setiap langkah kecil menuju ilmu adalah lompatan besar menuju cita-cita.

Paling banyak dibaca:

    Curhat Bapak-Bapak 002 - Setiap Awal Bulan Tuh Rasanya Kayak Lagi Main Game Level Hard


    https://basando.blogspot.com/

    Curhat Bapak-Bapak 002 - Renungan Hari Sabtu, 30 November 2025



    "Aduh, Pak… kadang tuh saya suka ketawa sendiri—ketawa getir sih, tapi ya ketawa aja dulu biar nggak mewek. Soalnya kalau dipikirin serius terus, kepala rasanya mau meledak kayak stop kontak kejeblos air."


    Setiap awal bulan tuh rasanya kayak lagi main game level hard. Begitu gajian masuk… ceeeet… langsung kayak disedot vacuum cleaner. Tagihan listrik datang dengan gaya sok akrab, “Pak, saya numpang lewat ya.” Tagihan air nyusul, “Pak, jangan lupa saya.” Belum lagi angsuran-angsuran yang entah kenapa makin lama makin terasa seperti mantan pacar yang belum move on—nyari perhatian terus tiap bulan.


    bapak-bapak yang sedang kumpul terlihat bahagia



    Belum selesai itu, muncul lagi iuran ini-iuran itu. Uang kas RT lah, uang keamanan lah, uang kebersihan yang entah kenapa jumlahnya kadang berubah kayak mood istri kalau saya lupa jemput anak. Kadang saya mikir: “Ini saya hidup di perumahan atau ikut arisan tagihan nasional?”

    Masalahnya, penghasilan mah ya begitu-begitu aja. Mau dinaikin, perusahaan bilang belum bisa. Mau lembur, lemburan malah makin bikin capek tapi nggak nambah banyak. Jadi apa? Ya… akhirnya ke pinjol. Itu pun bukan karena gaya-gayaan, tapi karena minyak goreng nggak mau dibayar pakai doa.

    Bunganya? Waduh… kalau bunganya jadi tanaman, mungkin saya sudah punya kebun raya.

    Tapi ya gimana… dari sisi agama, saya juga percaya kok. Katanya semua rezeki sudah diatur. “Tenang, Pak, rezeki itu sudah cukup.” Ya saya percaya… tapi kalau begitu, mungkin definisi “cukup” menurut Tuhan sama menurut dompet saya perlu disinkronisasi ulang.

    Tetap harus bersyukur, katanya. Iya… saya bersyukur. Bersyukur listrik masih nyala, air masih ngalir, anak masih sekolah, istri masih mau senyum walau kadang sinis dikit kalau saya bilang, “Sayang, kayaknya akhir bulan kita harus hemat lagi ya.”

    Ya begitulah curhat bapak-bapak, Pak. Setengah stres, setengah humor, setengah pasrah… eh jadi tiga setengah ya. Matematikanya memang berantakan, sama seperti laporan keuangan pribadi saya. Tapi ya dijalani saja. Wong mau ngeluh ke siapa lagi? Yang penting keluarga sehat, hati tetap waras, dan tiap malam masih bisa ngopi sambil mikir: “Besok semoga ada rezeki tambahan… entah dari mana.”




    Kadang, Pak, kalau malam-malam lagi rebahan—yang sebenarnya lebih mirip “tumbang”—mulai muncul tuh suara-suara bijak ala ustaz dalam kepala: “Pak… hutang itu nggak baik. Cicilan itu ada ribanya. Pinjol apalagi…”

    Langsung saya diem. Bukan karena tiba-tiba jadi alim, tapi karena tersentil. Soalnya bener. Secara agama, katanya riba itu kayak api kecil yang lama-lama bisa bakar hidup kita. Tapi secara kondisi hidup… ya mau gimana? Realita kadang suka ngejek, “Mau ideal tapi nelangsa, atau mau hidup tapi nyangkut riba?” Yah, dilema bapak-bapak.

    Kadang saya mikir, mungkin salah saya juga. Maksain beli rumah dengan cicilan yang bunganya lebih tinggi daripada tunjangan bulanan. Tiap lihat tagihan KPR, rasanya ingin bilang: “Pak Bank, saya rumahnya boleh dikembalikan nggak? Saya minta kos-kosan aja.”

    Terus kepikiran lagi: apa sebenarnya lebih baik tinggal di rumah kontrakan sederhana? Nggak perlu cicilan belasan tahun, nggak perlu mantau suku bunga naik-turun kayak nonton saham. Kontrakan memang nggak mewah, tapi minimal nggak bikin jantung deg-degan tiap tanggal muda.

    Belum lagi soal kendaraan. Dulu mikir: “Punya motor sendiri lebih enak.” Eh ujung-ujungnya cicilan juga. Setiap bulan motor itu kayak ngingetin, “Pak, saya memang membantu, tapi saya juga nagih ya.” Padahal ada angkot, ojek, bus—lebih murah, nggak pakai riba, cuma ya… harus siap berdesakan dan kena kipas angin alam dari jendela yang nggak bisa ditutup.

    Kadang renungan itu datang tiba-tiba:
    “Apa hidup saya ini jadi ribet karena saya sendiri yang ribet? Apa saya terlalu pengen terlihat mapan sampai akhirnya mapan berutang?”

    Dalam hati kecil, saya tahu sebenarnya hidup sederhana itu lebih tenang. Rumah kontrakan, kendaraan umum, makan apa adanya, tapi hati lega. Nggak dikejar-kejar cicilan, nggak dikejar-kejar bunga, dan nggak dikejar-kejar notifikasi pinjol yang ngajak ribut.

    Tapi ya gitu, Pak… keputusan hidup itu kadang udah kadung diambil. Bapak-bapak tuh sering begitu: sok kuat, sok mampu, baru mikir belakangan. Akhirnya sekarang ya cuma bisa gini:
    menjalani semampunya, ngurang-ngurangin riba sebisanya, sambil berharap pelan-pelan bisa lepas semuanya.

    Karena jujur aja, Pak… tidur di rumah kontrakan kecil tapi hati tenang mungkin jauh lebih nikmat daripada tidur di rumah besar tapi didampingi oleh cicilan yang setiap malam bisik-bisik:
    “Saya belum lunas, Pak…”

    Kadang, kalau lagi termenung sambil ngeteh di teras, pikiran saya suka jalan-jalan sendiri, Pak. Mulai bandingin hidup saya yang penuh cicilan ini dengan berita-berita di TV tentang koruptor.

    Lihat mereka tuh… hidupnya mewah, rumah gede, mobil deretan kayak showroom, liburan ke luar negeri sambil foto-foto gaya sultan. Kadang saya mikir, “Wah enak banget ya hidup gitu…” Tapi begitu halaman berita digeser, muncul lagi gambar mereka pakai rompi oranye, tangan diborgol, senyumnya hilang, tinggal kamera yang terus nembak wajah mereka tanpa ampun.

    Rompi oranye itu kayak “seragam resmi” yang ngasih tahu kita:
    Nah, inilah akhir dari hidup terlalu enak tapi bukan dari rezeki yang halal.

    Jujur, kadang lihat gaya hidup artis dan pejabat juga bikin kita mikir: kok enak amat ya? Makan di tempat mewah, jalan-jalan, barang branded, senyum terus. Tapi siapa yang tahu—di balik itu mungkin mereka lagi was-was: “KPK lagi ngikutin gue nggak ya?”
    Soalnya sudah sering banget, pejabat yang tadinya tampak bahagia, tiba-tiba hilang dari publik, muncul lagi di TV pakai rompi oranye.

    Dan kita semua sudah tau polanya: hidup mewah yang ternyata dibiayai dari uang rakyat.

    Akhirnya saya sadar, Pak… mungkin hidup saya memang penuh cicilan, tapi setidaknya saya tidur tanpa takut pintu diketok tim KPK jam tiga pagi. Setidaknya saya bisa ngopi tanpa deg-degan liat nomor tak dikenal. Setidaknya saya bisa ketawa tanpa pura-pura.

    Kadang saya ngomong ke diri sendiri:
    Mending jadi bapak-bapak biasa yang sabar nyicil, daripada pejabat kaya mendadak tapi hati ketutup dosa.

    Karena apa gunanya rumah mewah kalau akhirnya tinggal di “rumah dinas” KPK?
    Apa gunanya mobil sport kalau akhirnya kendaraan resmi kita cuma mobil tahanan?

    Lucu ya, Pak… kita yang hidup sederhana ini suka iri sama mereka. Padahal mungkin mereka iri juga sama kita—bisa hidup tenang, bisa tidur nyenyak, dan nggak harus nunduk kalau lihat rompi oranye.

    Akhirnya saya cuma bisa nyengir sendiri:
    “Hidup memang keras, tapi jangan sampai kita jadi keras kepala sampai lupa halal-haram.”
    Karena lebih baik kere bermartabat… daripada kaya tapi dikejar-kejar KPK.




    Sumber:



    Tidak ada komentar:

    Harap beri komentar yang positif. Oke boss.....

    Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

    Pengikut

    Diberdayakan oleh Blogger.