Curhat Bapak-Bapak 003 - Renungan Hari Sabtu, 30 November 2025
"Akhirnya? Kita langgar hukum alam versi dompet. Beli sesuatu yang hitungannya nggak masuk akal, tapi dipaksa lewat cicilan. Ujung-ujungnya banjir juga… banjir tagihan. Longsor juga… longsor ketenangan jiwa."
Kadang, Pak, kalau lihat berita tentang banjir, longsor, atau tanah ambles, hati ini rasanya ikut amblas juga. Soalnya sekarang bencana alam itu udah nggak murni “bencana alam” lagi—sering kali lebih pas disebut bencana dari manusia. Alam itu sebenarnya sudah punya aturan main, punya ritme, punya keseimbangan yang jauh lebih rapi daripada laporan keuangan kita. Tapi ya, begitu manusia mulai “iseng” merusak aturan itu, hasilnya sudah bisa ditebak: dampaknya mampir ke hidup orang banyak, bukan cuma ke yang merusak.
Berapa banyak daerah yang dulu adem ayem, nggak pernah kebanjiran, tiba-tiba sekarang banjir tiap hujan lima belas menit? Berapa banyak kampung yang dulu tanahnya kokoh, tiba-tiba longsor kayak adonan kue? Pas ditelusuri, eh ternyata bukit di atasnya udah gundul, sungai sebelahnya diganggu alirannya, atau tanahnya dipaksa jadi perumahan mewah tanpa lihat kontur alamnya.
Ironisnya, yang jadi korban sering kali adalah masyarakat kecil. Yang merusak entah ke mana, tapi warga yang harus menguras rumah dari lumpur atau nyari tempat mengungsi.
Dan jujur aja, Pak… itu bikin saya mikir panjang. Alam itu punya keseimbangan, hidup kita juga begitu.
Hidup kita sebenarnya punya keteraturan. Penghasilan sekian, kebutuhan sekian. Kalau mau aman ya hidup sesuai kemampuan. Tapi ya itu dia… kadang manusianya—termasuk saya sendiri—yang suka “ngerusak” aturan natural itu.
Akhirnya? Kita langgar hukum alam versi dompet. Beli sesuatu yang hitungannya nggak masuk akal, tapi dipaksa lewat cicilan. Ujung-ujungnya banjir juga… banjir tagihan. Longsor juga… longsor ketenangan jiwa.
Kalau saja dulu saya tidak gegabah, tidak sok mampu, tidak merasa harus punya sesuatu hanya karena orang lain punya… mungkin hidup saya masih mengalir normal tanpa “banjir” dan “longsor” finansial.
Semoga ke depan kita lebih hati-hati. Entah itu dalam menjaga alam… maupun menjaga isi dompet.
Kalau dipikir-pikir, Pak… dunia ini sebenarnya indah sekali. Alam sudah disetel dengan rapi: ada gunung yang menahan angin, ada hutan menjaga tanah, ada sungai yang jadi jalur air, ada laut yang jadi penampung terakhir. Bahkan hujan pun turun dengan ukuran yang sudah pas, nggak pernah kebanyakan atau kekurangan—yang bikin kacau itu bukan hujannya, tapi manusia yang mengubah jalurnya.
Andai semua manusia mau memahami konsep keteraturan itu, mungkin hidup ini jauh lebih damai. Karena setiap gangguan terhadap keseimbangan, sekecil apa pun, pasti ada akibatnya. Kadang cepat, kadang perlahan, tapi pasti datang.
Masalahnya, kita sebagai manusia sering nggak sadar. Kita lihat tanah longsor, bilang “alam lagi marah”. Padahal alam itu nggak pernah marah—dia cuma bereaksi. Kita lihat banjir besar, langsung menyalahkan hujan. Padahal hujan itu cuma menjalankan tugasnya; yang salah jalur alirannya kita cor, kita gusur, kita salahgunakan.
Yang paling miris, alam yang jadi korban, manusia yang jadi pelaku… tapi setelah bencana terjadi, manusianya malah sibuk menunjuk ke luar, bukan ke diri sendiri.
Padahal sering kali kesalahannya ya ada di kita juga—entah karena serakah, entah karena ceroboh, entah karena sok pintar merasa lebih tahu dari alam.
Dan lucunya, pola itu sama persis dengan hidup pribadi kita. Ketika keadaan keuangan kita amburadul, kita nyalahin ekonomi. Nyalahin harga naik. Nyalahin gaji kecil. Padahal kalau mau jujur, kita sendiri yang dulu memutuskan untuk ngambil cicilan yang nggak masuk akal, ngabaikan batas kemampuan, dan merusak “keteraturan hidup” yang sebenarnya udah pas-pas aja.

Belanja Online, Banyak Diskon. Klik aja!
Inilah Saklar Terbaik untuk Istana Anda!


Tidak ada komentar:
Harap beri komentar yang positif. Oke boss.....
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.