Bahagia Tapi Tertindas:
Ketika Narasi Kesejahteraan Menjadi Tirai Ketimpangan
Ketika studi Global Flourishing Study yang digagas Harvard, Baylor University, dan Gallup menempatkan Indonesia sebagai negara paling sejahtera di dunia, banyak dari kita merasa bangga. Skor 8.47 yang mengungguli Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris seolah menjadi bukti bahwa kebahagiaan tidak selalu bergantung pada kekayaan.
Namun, di balik euforia itu, muncul pertanyaan yang lebih dalam: Apakah narasi ini bisa menjadi alat untuk meninabobokan rakyat? Apakah ini justru membuka ruang bagi elite politik dan pejabat untuk terus memperkaya diri, sementara rakyat merasa cukup dengan kebahagiaan spiritual dan sosial?
Kesejahteraan yang Tak Menyentuh Dapur
Di lapangan, gaji pekerja cleaning service di Indonesia hanya sekitar Rp3 juta per bulan (rata-rata UMK di Indonesia). Untuk membeli rumah minimalis tipe 36, mereka harus menabung selama 9–16 tahun tanpa pengeluaran. Bandingkan dengan pejabat di tingkat kabupaten yang bisa membelinya dalam 2–3 tahun. Ketimpangan ini bukan sekadar angka, tapi realitas yang membentuk nasib jutaan keluarga.
Sementara itu, korupsi merajalela. Kasus PT Timah, BLBI, dan Jiwasraya menunjukkan bahwa triliunan rupiah lenyap dari kas negara. Ironisnya, di tengah skandal ini, rakyat justru diberi narasi bahwa mereka adalah yang paling bahagia di dunia.
Narasi Bahagia: Antara Harapan dan Manipulasi
Narasi kebahagiaan bisa menjadi kekuatan sosial—mendorong solidaritas, spiritualitas, dan ketahanan mental. Tapi jika digunakan untuk menutupi ketimpangan ekonomi dan korupsi, ia berubah menjadi alat manipulasi.
Ketika rakyat merasa cukup secara batin, mereka mungkin enggan menuntut keadilan ekonomi. Ketika media dan pejabat mengulang-ulang bahwa “Indonesia sudah paling sejahtera,” maka kritik terhadap sistem bisa dianggap tidak relevan.
Bahagia Bukan Berarti Diam
Kita tidak boleh membiarkan kebahagiaan menjadi alasan untuk pasrah. Justru karena kita memiliki kekuatan sosial dan spiritual, kita harus menggunakannya untuk menuntut pemerintahan yang bersih, distribusi ekonomi yang adil, dan kebijakan yang berpihak pada rakyat.
Tidak ada komentar:
Harap beri komentar yang positif. Oke boss.....
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.