Indonesia, 80 Tahun Merdeka:
Apakah Rakyat Sudah Merdeka Seutuhnya?
Apakah Pejabat Masih Mencintai Rakyatnya?
(Sebuah Refleksi atas Kesengsaraan yang Tak Kunjung Usai)
Rakyat di pelosok masih kesulitan mendapat air bersih, akses pendidikan masih timpang, dan harga kebutuhan pokok tak terjangkau oleh penghasilan buruh harian. Di kota besar, rakyat kecil digusur atas nama pembangunan. Belum lagi berita-berita mengenai tanah yang akan disita negara jika tak digunakan, rekening yang diblokir jika tidak aktif, dan permasalahan lain yang sepertinya menghantui masyarakat saat ini. Sementara itu, kesenjangan antara mereka yang berkuasa dan mereka yang bertahan hidup makin menganga.
Antara Cinta dan Kekuasaan
Di setiap momen kampanye, kita mendengar para pejabat berbicara tentang "cinta pada rakyat". Tapi benarkah cinta itu hadir dalam bentuk nyata?
Cinta kepada rakyat seharusnya bukan hanya narasi politik. Ia semestinya tampak dalam kebijakan yang berpihak, kejujuran dalam mengelola anggaran, dan keberanian untuk mendengar suara paling lemah. Tapi sayangnya, banyak pejabat yang justru menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk memperbesar ego pribadi, memperkaya diri, dan memperkuat posisi politik.
Cinta berubah menjadi alat pencitraan. Rakyat hanya diingat saat butuh suara. Setelah itu, suara mereka tenggelam dalam rapat-rapat elite yang tidak menyisakan ruang bagi penderitaan rakyat kecil.
Egoisme Berbaju Jabatan
Masih Adakah Cinta yang Tulus di Dalam Pemerintahan?
Tentu tidak semua pejabat seperti itu. Ada yang bekerja tanpa gembar-gembor, membangun sekolah di pelosok, memperjuangkan anggaran kesehatan, dan hadir saat rakyat tak punya suara. Namun jumlahnya sedikit. Dan seringkali, suara mereka tenggelam di tengah sistem yang korup dan politisasi kekuasaan. Tolak ukurnya yang paling mudah adalah lebih sering kita mendengar kasus korupsi pejabat daripada kisah kebaikan pejabat.
Kita membutuhkan lebih banyak pejabat yang benar-benar paham bahwa cinta kepada rakyat adalah tentang keberanian mengambil keputusan sulit demi kebaikan banyak orang, bukan demi kepentingan kelompok.
Rakyat Tidak Butuh Janji, Tapi Bukti
- Harga bahan pokok yang terjangkau.
- Pendidikan yang setara.
- Pelayanan kesehatan yang manusiawi.
- Keamanan yang adil, tanpa diskriminasi.
Jika cinta itu nyata, maka penderitaan rakyat seharusnya bukan menjadi pemandangan rutin.
Cinta yang Hilang, atau Cinta yang Dihilangkan?
Mungkin cinta itu pernah ada saat mereka masih berdiri bersama rakyat. Tapi kekuasaan punya cara licik untuk menggerusnya. Atau jangan-jangan, sejak awal, cinta itu hanyalah ilusi yang dibungkus janji?
Tidak ada komentar:
Harap beri komentar yang positif. Oke boss.....
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.