Setelah usai hiruk pikuk Pilgub DKI
Jakarta dan menghasilkan pasangan Jokowi-Ahok sebagai peraih suara
terbanyak sementara berdasar hasil hitung cepat lembaga-lembaga survai,
kini Suasana panas politik akan berpindah ke Provinsi Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Provinsi dan waktu yang paling dekat dengan
pelaksanaan pilgub DKI Jakarta adalah Provinsi Jawa Barat yang akan
menggelar pelaksanaan Pilgub pada Bulan Februari 2013.
Apa yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta,
pasti akan berdampak terhadap Pilgub Jawa Barat. Gubernur dan Wakil
Gubernur yang saat ini menjabat adalah Ahmad Heryawan dari PKS (dulu
anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta) dan Dede Yusuf yang dulu politisi PAN
kemudian loncat ke Demokrat.
Ahmad Heryawan sudah dipastikan oleh PKS
untuk dicalonkan kembali sebagai Cagub periode kedua kalinya. Begitu
pula dengan sang Wagub Dede Yusuf, Ada kemungkinan kuat bahwa mereka
akan bertarung dalam pilgub nanti. Karena sang Wagub juga maju
mencalonkan diri sebagai cagub. Sementara beberapa nama kandidat lain
yang muncul adalah Ketua DPD Golkar Provinsi Jawa Barat Irianto MS
Syaifudin (Yance), Walikota Bandung Dada Rosada, Politisi PDIP Riekeu
Diah Pitaloka, Ketua DPD PAN Jabar Edi Darnadi, ketua DPW PKB Jabar Dedi
Wahidi (Dewa) dll.
Apa yang terjadi dalam Pilgub di Jakarta
kemarin, dipastikan menimbulkan effect domino dalam peta politik dan
pergerakan calon dalam pilgub Jabar. Paling tidak dari sisi
hitung-hitungan koalisi parpol yang akan mengusung calon, dan siapa
calon yang akan diusungnya. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam
membaca peta politik dalam Pilgub Jawa Barat jika melihat kenyataan di
DKI Jakarta.
Pertama,
Fakta bahwa koalisi parpol yang supergemuk sekalipun di Jakarta
(Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP, PKB) dengan kekuatan 80 persen kursi
di parlemen, ternyata tak mampu memenangkan memenangkan kandidat yang
diusungnya yaitu Fauzi Bowo-Nahrowi Ramli
Kedua,
Fakta bahwa koalisi parpol yang mayoritas dan kandidat yang diusungnya
pun masih menjabat sebagai gubernur (Incumbent/Petahana) ternyata tak
mampu “membeli” simpati rakyat. Hal ini menunjukan bahwa Parpol sudah
tidak menjadi faktor yang menentukan dalam perhelatan Pilkada Langsung,
kekuatan figur calon lebih dominan.
Ketiga,
Kekuatan finansial (wani piro) baik dari kantung pribadi, maupun
mendompleng pada kekuatan dana APBD melalui bansos, hibah,
program-program dinas yang biasanya dimanfaatkan oleh Gubernur Petahana,
ternyata tetap tak menjadi jaminan rakyat akan terpengaruh dan
menentukan pilihan padanya. Karena ternyata rakyat hari ini sudah lebih
cerdas menilai calon pemimpinnya. Jika dia bagus kinerjanya dan dicintai
rakyatnya, dia akan dipilih kembali, jika dia dipersepsikan gagal dan
tak disenangi oleh rakyatnya, dia tidak akan dipilih kembali oleh
masyarakatnya.
Keempat,
Pesona dan visi serta harapan yang ditawarkan seorang calon ternyata
lebih menarik perhatian publik. Personal brand Jokowi-Ahok dalam Pilgub
kemarin dengan berbagai manuvernya ternyata mendapatkan tempat yang
layak disisi rakyat Jakarta. Bagaimana karakter pribadi Jokowi yang apa
adanya, santun, ramah, sederhana, merakyat, mampu menyihir warga
Jakarta, hanya dalam jangka waktu 3 bulan saja, beliau mampu menciptakan
brand image yang positif
yang mampu menjadi media darling, yaitu dengan fenomena baju
kotak-kotak. Dia jalan kaki blusukan dari kampung ke kampung secara
natural, bukan semata pencitraan. Sementara ramainya pemberitaan di
media massa baik mainstream maupun sosial hanyalah penyempurna saja.
Lalu bagaimanakah peta Kandidat dan
kekuatan politik di Jawa Barat sendiri?. Harus diakui, bahwa kemenangan
Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf sebagai Gubernur Jabar pada Pilgub 2007
lalu sangatlah diluar perkiraan. Sama persis dengan apa yang terjadi di
Jakarta hari ini. Bedanya dulu pasangan ini menjadi kuda hitam dari
kerasnya pertarungan politik antara dua paket calon (Agum Gumelar-Nu’man
Abdul Hakim) yang diusung PDIP,PPP,PKB dll, dengan paket (Danny
Setiawan-Iwan Sulanjana) yang didukung oleh partai Golkar dan Partai
Demokrat. Sementara paket (Ahmad Heryawan-Dede Yusuf ) didukung oleh PKS
dan PAN.
Pada saat itu faktor penentu kemenangan
pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf terletak pada figur Dede Yusuf nya.
Dia sangat populer di kalangan masyarakat Jawa Barat, terutama kalangan
ibu-ibu atau perempuan pada umumnya. Karena Dede Yusuf sering nongol di
televisi dengan iklan Bodrex
nya. Pada saat itu pesona Dede Yusuf benar-benar menyihir masyarakat
Jawa Barat. Banyak ibu-ibu yang sambil ketawa ketiwi mengatakan “akh abi mah milih bodrex we nu ganteng” Ah saya mah milih bodrex (Dede Yusuf) yang ganteng.
Tentu bukan semata-mata itu pula
masyarakat Jawa Barat meneyenangi Sosok Dede Yusuf. Selama ini Dede
Yusuf juga dikenal sebagai politisi yang menjadi anggota DPR RI dari
dapil Ciamis, sehingga dalam beberapa kesempatan beliau juga mampu
mengekspresikan dirinya dalam komunitas tatar parahiyangan sebagai
refresentasi wakil ki Sunda dalam konteks politik nasional kala itu.
Lalu bagaimana posisi Ahmad Heryawan
saat ini?. Kang Aher sepertinya menyadari tingkat popularitasnya
tidaklah terlalu tinggi, bahkan berdasarkan hasil survei yang dilakukan
Puslit Unpad popularitas Ahmad Heryawan hanya di kisaran angka 13 %
sementara Dede Yusuf di kisaran angka diatas 40 %. Oleh karenanya, Ahmad
Heryawan saat ini begitu gencarnya bersosialisasi melalui berbagai
media. Baik di media massa maupun di media out door seperti baligo,
spanduk, banner dll, di kota hingga pelosok desa di seluruh Jawa Barat.
Sampai-sampai Kang Aher saat ini dijuluki sebagai Gubernur dengan Sejuta
Spanduk.
Apakah kepemimpinannya selama hampir 5
tahun ini Ahmad heryawan dianggap berhasil memimpin Jawa Barat? Tentu
ini harus diuji publik. Jika kinerjanya baik, dan itu sampai dan
diketahui publik tentu publik akan dengan sendirinya memilihnya kembali,
meskipun hal itu lagi-lagi berhubungan pula dengan citra dan persepsi
yang melekat dalam sosok personal Ahmad heryawan dan PKS sebagai partai
yang nanti akan mengusungnya.
Pergulatan politik partai dan adu pesona
serta persepsi sebagaimana terjadi dalam Pilgub DKI Jakarta akan sangat
mempengaruhi persepsi publik terhadap calon-calon yang akan maju dalam
Pilgub Jabar nanti. Perilaku parpol dalam Pilgub DKI juga akan
berpengaruh terhadap bagaimana persepsi publik menilai parpol-parpol di
Jawa Barat. Meskipun sekali lagi, faktor parpol menjadi tidak menentukan
lagi dalam kemenangan pilkada langsung seperti pilgub ini. Kita tunggu
saja perkembangannya….
Tidak ada komentar:
Harap beri komentar yang positif. Oke boss.....
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.