Curhat Bapak-Bapak 006 - Renungan Hari Sabtu, 6 Desember 2025
Kalau kita masih punya rasa memiliki terhadap tanah, sungai, hutan, dan masa depan anak-cucu: mungkin saatnya kita tanya pada diri sendiri:
Apakah keuntungan jangka pendek (uang, kerja) pantas ditukar dengan risiko jangka panjang (alam rusak, bencana, krisis pangan, habitat hilang)?
Apakah ada alternatif lain selain sawit/tambang — pertanian ramah lingkungan, agroforestri, ekonomi lokal — yang bisa memberi kehidupan layak tanpa merusak alam?
Apakah kita siap menolak tawaran mudah hari ini demi mempertahankan tanah dan lanskap sebagai warisan generasi selanjutnya?
Bukan sekadar soal siapa yang salah — tapi soal bagaimana kita bersama menjaga alam, sebagai modal hidup kita bersama.
Berikut ini adalah sudut pandang alternatif mengenai bencana banjir dan longsor di Sumatra, dengan melihat bahwa "mungkin" masyarakat lokal juga memegang peranan dalam pengrusakan hutan lewat partisipasi mereka dalam kegiatan sawit / tambang.
“Renungan ala bapak-bapak” — Masyarakat, Perusahaan, Izin, dan Pilihan Hidup
Kalau kita duduk di pos ronda sambil menyeruput kopi, ngobrol apa adanya di malam yang dingin, kita mungkin bakal bilang begini: bencana besar seperti banjir dan longsor itu tidak muncul tiba-tiba dari langit — ada benang kusut dari pilihan kita, lingkungan, ekonomi, dan masa depan.
Bukan cuma “pemerintah salah”, atau “perusahaan serakah” — tapi juga: bagaimana masyarakat ikut membiarkan perubahan besar di sekitarnya.
Kenapa masyarakat ikut “memperlancar” sawit / tambang?
- Banyak penelitian menunjukkan bahwa konversi hutan jadi lahan perkebunan sawit atau area tambang terjadi tidak cuma karena izin dari pemerintah atau keputusan perusahaan, tapi juga karena kesediaan masyarakat lokal untuk mengambil bagian — entah sebagai pekerja, petani plasma, atau menjual lahan mereka. Misalnya, sebuah studi di kawasan perkebunan sawit menemukan bahwa setelah perubahan lahan menjadi kebun sawit, terjadi peningkatan pendapatan dan terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat lokal. (Jurnal Universitas Tanjungpura)
- Di beberapa studi, petani atau pemilik lahan lama (misalnya lahan karet, kebun rakyat, atau pertanian subsisten) memilih mengonversi lahan mereka menjadi kebun sawit karena logika ekonomi — sawit dianggap menjanjikan pendapatan lebih baik, dibanding usaha kecil-kecilan yang hasilnya tidak pasti. (Open Journal Systems)
- Selain itu, model kemitraan seperti “perkebunan inti-plasma / smallholder” menjadikan petani/masyarakat lokal sebagai bagian dari rantai produksi — sehingga aktivitas sawit tidak terasa sebagai “proyek asing di luar komunitas”, melainkan bagian dari mata pencaharian mereka sendiri. (Jurnal Universitas Gadjah Mada)
Dengan kata lain: ketika masyarakat lokal melihat atau merasakan manfaat ekonomi — lapangan kerja, pendapatan, akses modal — maka resistensi terhadap konversi lahan bisa melemah. Sehingga penggusuran hutan, pembukaan baru, atau alih fungsi lahan mudah berjalan, kadang tanpa perlawanan berarti.
Konsekuensi Pilihan Itu: Risiko Lingkungan dan Sosial
Tentu, dari sudut pandang lingkungan, konversi besar-besaran ini punya dampak nyata:
- Pengurangan tutupan hutan, hilangnya habitat satwa, kerusakan ekosistem, serta terganggunya fungsi DAS (daerah aliran sungai) — yang seharusnya membantu menahan air dan mencegah erosi. (Kompas)
- Perubahan sosial-ekonomi: meskipun pendapatan meningkat bagi sebagian masyarakat, penelitian menunjukkan bahwa konversi lahan juga membawa dampak negatif: misalnya penurunan kualitas lingkungan sekitar, potensi konflik agraria, perubahan norma sosial, ketergantungan ekonomi pada sawit, serta kerentanan saat harga komoditas jatuh. (Jurnal Universitas Tanjungpura)
- Kerusakan lingkungan kolektif: lahan yang dulu berfungsi secara alami untuk menyerap air dan menjaga stabilitas tanah kini berubah — sehingga saat hujan ekstrem datang, risiko banjir dan longsor meningkat.
Jadi keputusan untuk ikut bekerja, atau membiarkan konversi lahan, bukan cuma soal hari ini atau besok — tapi soal generasi ke depan, tentang bagaimana alam dan komunitas akan bertahan.
Renungan: Apakah “keuntungan ekonomi” sebanding dengan “risiko masa depan”?
Kalau kita ngobrol dengan anak-cucu di masa depan: apakah mereka akan bangga melihat padi, bambu, kayu hutan, sungai yang jernih — atau hanya tumpukan sawit dan lubang bekas tambang?
Mungkin masyarakat saat ini memilih sawit/tambang karena kebutuhan hidup — memang, perubahan ekonomi terasa nyata. Tapi apakah kita menyadari biaya yang dibayar oleh alam — dan oleh diri kita sendiri kelak?
Kalau saat itu kita bisa memilih — menolak, menahan, atau mencari alternatif — maka mungkin banjir dan longsor bisa dicegah. Ini bukan soal menyalahkan, tapi soal sadar bahwa kita semua punya andil: perusahaan, pemerintah, dan masyarakat bersama.
Mengapa Sebagian Masyarakat “Memilih” Terlibat — dan Apa Artinya untuk Masa Depan Bersama
Dalam banyak kasus, masyarakat lokal bukanlah korban pasif — mereka turut ambil bagian dalam sistem: jual tanah, jadi pekerja, ikut skema smallholder.
- Studi menunjukkan bahwa “kemitraan” sawit dengan petani lokal — melalui program seperti smallholder atau plasma — membuat sawit tampak sebagai solusi ekonomi lokal, bukan sekadar proyek eksternal. (Jurnal Universitas Gadjah Mada)
- Ketergantungan pada pendapatan dari sawit membuat masyarakat sulit menolak ekspansi — terutama jika alternatif ekonomi seperti pertanian subsisten atau usaha kecil terasa tidak menjanjikan. (IPB Repository)
- Dengan demikian, “dukungan masyarakat” — meskipun tak tertulis formal — ikut melancarkan deforestasi dan alih fungsi lahan, yang memperbesar kerentanan lingkungan untuk bencana alam seperti banjir dan longsor.
Sekali lagi: ini bukan soal menyalahkan satu pihak, tapi soal memahami bahwa bencana bukan hanya produk keputusan elit — tapi juga akumulasi dari pilihan banyak orang, termasuk kita sebagai bagian dari masyarakat.
Pesan untuk Kita Semua — Sebuah Renungan Kolektif
Kalau kita masih punya rasa memiliki terhadap tanah, sungai, hutan, dan masa depan anak-cucu: mungkin saatnya kita tanya pada diri sendiri:
- Apakah keuntungan jangka pendek (uang, kerja) pantas ditukar dengan risiko jangka panjang (alam rusak, bencana, krisis pangan, habitat hilang)?
- Apakah ada alternatif lain selain sawit/tambang — pertanian ramah lingkungan, agroforestri, ekonomi lokal — yang bisa memberi kehidupan layak tanpa merusak alam?
- Apakah kita siap menolak tawaran mudah hari ini demi mempertahankan tanah dan lanskap sebagai warisan generasi selanjutnya?
Bukan sekadar soal siapa yang salah — tapi soal bagaimana kita bersama menjaga alam, sebagai modal hidup kita bersama.
Kalau kita semua bijak memilih, konversi lahan besar-besaran bisa kita hindari. Jika tidak — bencana alam seperti banjir dan longsor akan terus menghantui, bahkan ketika kapital dan izin semua sudah beres.

Belanja Online, Banyak Diskon. Klik aja!
Inilah Saklar Terbaik untuk Istana Anda!


Tidak ada komentar:
Harap beri komentar yang positif. Oke boss.....
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.