Translate

Handphone & AksesorisSmartwatch agar Anda Tidak Mati Gaya

    Mengapa Pendidikan di Indonesia Masih Tertinggal: Sebuah Refleksi untuk Bangsa


    https://basando.blogspot.com/



    Mengapa Pendidikan di Indonesia Masih Tertinggal: 

    Sebuah Refleksi untuk Bangsa


    Pendidikan di Indonesia Masih Tertinggal



    Pendidikan adalah fondasi peradaban. Melalui pendidikan, manusia diberi alat untuk berpikir kritis, bertindak cerdas, dan membangun masa depan yang lebih baik. Namun, di Indonesia, sistem pendidikan masih diwarnai berbagai permasalahan struktural yang membuat rakyat sulit maju dan berkembang. Padahal, dengan jumlah penduduk yang besar dan kekayaan alam yang melimpah, Indonesia seharusnya bisa menjadi negara yang unggul. Sayangnya, potensi itu kerap terkubur oleh ketidakteraturan dan kebijakan yang tidak konsisten.

    Salah satu masalah utama adalah politik dan birokrasi pendidikan yang tidak stabil. Dalam dua dekade terakhir, Indonesia telah bergonta-ganti menteri pendidikan berkali-kali. Setiap menteri datang membawa visi, misi, bahkan kurikulumnya sendiri, tanpa kesinambungan dari kebijakan sebelumnya. Kurikulum berubah terlalu cepat tanpa evaluasi menyeluruh, membuat guru dan siswa seperti kelinci percobaan dalam laboratorium kebijakan yang tidak selesai.

    Lebih parah lagi, korupsi di sektor pendidikan masih menjadi momok menakutkan. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), anggaran pembangunan infrastruktur pendidikan, hingga proyek-proyek pelatihan seringkali bocor di tengah jalan. Uang yang seharusnya untuk mencerdaskan bangsa malah memperkaya segelintir oknum. Akibatnya, sekolah-sekolah di daerah tertinggal masih minim fasilitas, guru kurang pelatihan, dan siswa belajar dalam keterbatasan.

    Faktor lain yang tidak kalah penting adalah kondisi sosial masyarakat itu sendiri. Di banyak daerah, terutama pedesaan dan wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), pendidikan belum menjadi prioritas. Banyak anak-anak yang lebih didorong untuk bekerja membantu orang tua daripada bersekolah. Ketiadaan transportasi, biaya tersembunyi, dan budaya "yang penting bisa cari uang" membuat semangat belajar tak pernah tumbuh secara merata.

    Jika kita bandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, perbedaan sangat mencolok. Singapura, meski kecil, berinvestasi besar dalam pendidikan jangka panjang dengan sistem yang konsisten, meritokratis, dan berbasis teknologi. Malaysia juga memiliki sistem pendidikan yang lebih terstruktur dengan penekanan pada bahasa Inggris dan riset ilmiah. Di Indonesia, guru masih berkutat dengan pelaporan administratif yang menyita waktu, bukan pada peningkatan kualitas pengajaran.

    Negara-negara barat seperti Finlandia dan Jerman bahkan sudah melangkah lebih jauh. Finlandia, misalnya, tidak mengejar ranking dan ujian semata, melainkan menekankan pada kesejahteraan guru dan suasana belajar yang menyenangkan. Guru dihargai seperti profesional, dengan pelatihan intensif dan kepercayaan penuh dari negara. Sementara itu, di Indonesia, guru honorer masih banyak yang digaji di bawah UMR, mengajar berjam-jam tanpa jaminan masa depan.

    Kelemahan sistemik lainnya adalah minimnya pendidikan karakter dan literasi berpikir kritis. Anak-anak kita didorong menghafal, bukan memahami. Ujian nasional dulu bahkan menjadi momok tahunan yang hanya mengukur kemampuan kognitif dasar. Padahal, di era global, dunia kerja menuntut kreativitas, kolaborasi, dan kemampuan beradaptasi—hal-hal yang jarang disentuh dalam sistem pendidikan konvensional kita.


    .





    Tentu saja, tidak semua kelam. Banyak guru hebat yang berjuang di pelosok, komunitas literasi yang tumbuh, dan inovasi pembelajaran digital yang mulai merebak. Namun, gerak perubahan ini masih sporadis, belum menjadi gerakan nasional yang didukung penuh oleh sistem. Pemerintah perlu berhenti menjadikan pendidikan sebagai ajang eksperimen, dan mulai membangun sistem yang berkelanjutan dan konsisten lintas rezim.

    Solusi? Dimulai dari keberpihakan nyata terhadap pendidikan: alokasi anggaran yang tidak hanya besar tapi juga efektif, pemberdayaan guru sebagai kunci perubahan, serta keterlibatan masyarakat dalam menumbuhkan budaya belajar. Kementerian harus berhenti mengejar kurikulum baru setiap lima tahun, dan mulai mendengarkan suara guru, siswa, dan masyarakat.

    Akhirnya, jika kita ingin Indonesia maju, maka revolusi pendidikan adalah syarat mutlak. Bukan revolusi dalam bentuk ganti kurikulum semata, tapi revolusi pola pikir—bahwa pendidikan bukan hanya soal angka dan nilai, tapi soal membangun manusia Indonesia seutuhnya: cerdas, kritis, dan berkarakter. Karena sejatinya, bangsa yang besar adalah bangsa yang mencerdaskan seluruh rakyatnya—bukan hanya yang beruntung.



    masa depan yang lebih baik




    .




    Sumber:



    Tidak ada komentar:

    Harap beri komentar yang positif. Oke boss.....

    Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

    Pengikut

    Diberdayakan oleh Blogger.