Translate

Handphone & AksesorisSmartwatch agar Anda Tidak Mati Gaya

    Lampu yang Tak Pernah Padam (Cerpen Kehidupan)


    https://basando.blogspot.com/




    Lampu yang Tak Pernah Padam

    perancang: Abank Juki (Andriyansyah Marjuki)



    Lampu yang Tak Pernah Padam


    Namaku Raka. Kelas XII SMA. Di rumah kecil kami di pinggiran kota, aku hidup bersama Ayah, Ibu, dan dua adikku yang masih kecil—Rian kelas 3 SD dan Kirana yang baru masuk TK.

    Ayah, sejak beberapa tahun lalu, tak lagi bekerja. Ia kehilangan pekerjaannya saat pabrik tempatnya menjadi karyawan gulung tikar. Sejak itu, hari-harinya lebih banyak dihabiskan di depan televisi tua, dengan rokok menyala di jari dan suara marah yang bisa meledak kapan saja. Aku dan adik-adik sudah hafal suasananya. Jika suara sandal jepitnya terdengar keras, kami tahu: lebih baik diam.

    Ibu... ah, Ibu adalah cahaya di tengah rumah kami yang kelam.

    Setiap sore, Ibu berdandan rapi—bukan untuk pesta atau undangan keluarga, tapi untuk bekerja sebagai pemandu lagu di tempat karaoke. Aku tahu, pekerjaan itu bukan pilihan Ibu. Itu kebutuhan. Ia harus membayar sewa rumah, biaya sekolah kami, dan belanja dapur yang tak pernah menunggu gaji Ayah yang tak kunjung datang.

    “Jangan tanya apa-apa ya, Nak. Ibu cuma mau kalian tetap sekolah,” katanya suatu malam, sambil merapikan rambutku yang belum sempat dipotong.

    Tapi seiring waktu, aku mulai melihat hal-hal yang tak bisa kupahami sepenuhnya saat itu. Ada malam-malam di mana Ibu tak langsung pulang. Ada pagi-pagi di mana ia baru membuka pintu rumah dengan langkah lelah, bau parfum pria asing masih menempel samar di jaketnya.

    Aku pernah bertanya, dengan ragu, “Bu, kenapa Ibu semalam nggak pulang?”

    Ia diam sebentar. Lalu menjawab, “Kadang tamu Ibu minta ditemani sampai pagi. Mereka kasih tambahan uang, Nak. Itu buat beli buku kamu, buat uang jajan adikmu.”

    Hatiku mencelos. Aku tahu aku tak boleh menyalahkannya. Dunia ini memang tak ramah pada perempuan seperti Ibu—perempuan yang tak punya banyak pilihan selain bertahan dengan cara yang bahkan membuatnya kehilangan dirinya sendiri.

    Namun ternyata, Ibu tak hanya bekerja saat malam. Ada hari-hari saat ia sedang memasak, dan ponselnya berdering. Wajahnya berubah. Kadang ia pergi sebentar, katanya “antar teman” atau “ketemu pelanggan yang penting.” Aku tahu maksudnya lebih dari itu.

    .






    Kehidupan kami seperti benang kusut. Aku belajar menyuapi adik-adik, menyiapkan seragam mereka, bahkan menenangkan Kirana saat ia menangis mencari Ibu di malam hari. Seringkali, aku menahan tangis sendiri di dalam kamar, ketika semua tertidur.

    Yang paling berat bukan kemiskinan atau tanggung jawab, tapi rasa kehilangan atas sosok Ibu yang mulai terasa jauh—meski ia masih ada, hadir, dan mencintai kami dengan caranya.

    Tapi aku tidak marah. Tidak juga malu. Karena aku tahu, Ibu tidak memilih kehidupan ini karena ingin, melainkan karena harus. Ia tidak menyerah. Ia tidak lari. Ia hanya berkorban, lebih dari yang bisa kami pahami.

    Aku ingin suatu hari nanti lampu rumah kami tetap menyala—bukan karena Ibu harus keluar malam, tapi karena aku sudah cukup kuat untuk menggantikan perannya. Aku ingin membuatnya berhenti menerima panggilan, berhenti berdandan untuk orang asing. Aku ingin memeluknya tanpa aroma asing di bajunya, dan berkata, “Sekarang biar aku yang gantian jaga rumah ini, Bu.”



    Lampu yang Tak Pernah Padam





     

    Cerpen ini merupakan karya fiksi yang ditulis untuk keperluan pembelajaran dan refleksi sosial. Ia mengangkat isu-isu kemiskinan, keluarga, dan perjuangan perempuan dalam situasi sulit. Mohon membacanya dengan empati dan tanpa prasangka.



    .




    Sumber:



    Tidak ada komentar:

    Harap beri komentar yang positif. Oke boss.....

    Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

    Pengikut

    Diberdayakan oleh Blogger.