Memahami KDM dari Sudut Pandang Budaya
Antara revitalisasi budaya, simbol politik, dan kontroversi arsitektural
Pendahuluan
Dedi Mulyadi — populer dipanggil “Kang Dedi” atau KDM — adalah figur politik yang sejak jadi Bupati Purwakarta menempatkan budaya lokal (khususnya budaya Sunda) sebagai pilar kebijakan publik. Ketika naik ke arena provinsi sebagai Gubernur Jawa Barat, penekanan pada budaya itu tetap terlihat — lewat program, penghargaan, parade budaya, hingga pembangunan fisik yang menggunakan simbol-simbol tradisi. Langkah-langkah ini menghasilkan pujian dan penghargaan, namun juga menimbulkan pro-kontra, terutama ketika wujud fisiknya (seperti renovasi gapura Gedung Sate) tampak “tidak lazim” bagi sebagian orang.
Jejak Kultural: Dari Bupati Purwakarta ke Gubernur Jabar
Sebagai Bupati Purwakarta (periode sebelumnya), Dedi Mulyadi dikenal mempopulerkan praktik dan ritual kesundaan dalam tata pemerintahan lokal: festival budaya, revitalisasi tradisi, penataan ruang publik bernuansa Sunda, dan inisiatif menjadikan aset pemerintahan sebagai ruang budaya (mis. memfungsikan rumah dinas sebagai museum/ruang budaya). Upaya-upaya ini mendapat pengakuan: Dedi sempat menerima penghargaan atas pelestarian budaya dari pemerintah pusat (Satyalancana Kebudayaan). Pendekatan ini konsisten muncul pula ketika ia menjadi gubernur — dengan acara budaya berskala provinsi, kirab, dan pernyataan publik yang menempatkan budaya sebagai modal pembangunan.
Pembangunan Fisik Bertema Budaya: Contoh dan Motif
Dalam praktik pemerintahan KDM, “budaya” bukan hanya tampil di panggung seni tetapi juga pada infrastruktur: gapura, fasad, plaza, dan penataan lanskap yang memasukkan elemen tradisional. Argumennya berulang: estetika lokal menguatkan identitas, meningkatkan kebanggaan, dan berfungsi sebagai “narasi” pembangunan—menghubungkan modernitas dengan akar budaya. Beberapa proyek diinisiasi dengan tim arsitek dan perencana yang mengklaim menggabungkan unsur tradisional dan modern.
Kasus Kontroversial: Gapura / Pagar “Mirip Candi” di Kawasan Gedung Sate
Baru-baru ini muncul perdebatan setelah revitalisasi gerbang / gapura kawasan Gedung Sate dipresentasikan dengan desain yang banyak netizen bilang “mirip candi” (candi bentar). Media melaporkan proyek itu menelan anggaran—beberapa pemberitaan menyebut angka sekitar Rp 3,9 miliar—dan memicu gelombang komentar di media sosial: ada yang mendukung karena menonjolkan budaya, namun tak sedikit yang menganggapnya tidak selaras dengan gaya arsitektur Gedung Sate yang bercorak kolonial-Eropa/Indonesia; beberapa pihak menganggapnya “asing” atau berlebihan. Pemerintah provinsi menanggapi bahwa desain disusun bersama arsitek dan pakar, serta meminta publik tidak hanya meniru opini netizen tanpa dasar keahlian.
Hubungan Antara “Tingkat” Pemahaman Budaya (Khusus Budaya Sunda) dan Sepak Terjang KDM
Untuk mengerti mengapa KDM konsisten mengambil langkah simbolik dan fisik, perlu dibedah dua dimensi:
Pemahaman Budaya sebagai Identitas Politik
KDM mempraktikkan budaya sebagai alat politik identitas: menonjolkan tradisi Sunda untuk membangun legitimasi kultural dan resonansi emosional dengan masyarakat Jawa Barat. Pendekatan ini efektif memperkuat dukungan lokal dan memberi warna khas pemerintahan—mempromosikan “Sunda Bakti” sebagai narasi. Penghargaan resmi yang diterimanya menunjukkan adanya pengakuan terhadap upayanya di ranah budaya. (kumparan)
Pemahaman Budaya sebagai Bentuk Praktik ublik dan Estetika Ruang
Respons Publik, Khususnya Netizen
Respon netizen terhadap pembangunan gapura Gedung Sate terbagi:
-
Kritik tajam: alasan estetika (tidak sejalan dengan identitas arsitektural Gedung Sate), soal efisiensi anggaran, sampai tuduhan bahwa proyek itu “sensasional” atau “tidak relevan”. Banyak komentar bernada satir/menolak di media sosial dan kolom komentar berita.
-
Dukungan: kelompok lain melihatnya sebagai usaha mengangkat budaya lokal dan memperindah ruang publik; ada yang memuji ketegasan gubernur untuk memprioritaskan estetika lokal.Pemerintah merespons dengan penekanan pada proses perencanaan profesional dan undangan untuk melihat penjelasan arsitek, sambil menolak menjadikan “suara netizen” sebagai satu-satunya acuan.
Bagaimana Warga Masyarakat Sebaiknya Memahami KDM?
Memahami figur publik seperti KDM—khususnya dalam ranah budaya—membutuhkan ikhtiar seimbang:
-
Bedakan Intent dan Implementasi. Hargai niat untuk mengangkat budaya lokal, tetapi awasi implementasinya: apakah dirancang dengan kajian sejarah, estetika, partisipasi publik, dan akuntabilitas anggaran?
-
Minta Transparansi Proses. Masyarakat berhak tahu siapa yang merancang, bagaimana anggaran dialokasikan, dan apakah ada kajian dampak budaya/lingkungan.
-
Dorong Dialog Budaya. Solusi terbaik lahir dari dialog antara birokrat, arsitek, budayawan, dan komunitas; bukan hanya keputusan top-down.
-
Kritis, Bukan Auto-Tolak. Kritik yang konstruktif akan membantu memperbaiki proyek—sama halnya dukungan yang diiringi permintaan akuntabilitas membantu program berkelanjutan.Dengan perspektif seperti itu, masyarakat bisa menjadi mitra pengawas dan pelengkap dalam menjaga bahwa kebijakan budaya tidak sekadar simbol, melainkan memberi manfaat budaya, sosial, dan estetika yang nyata.
Penutup: Simbol, Politik, dan Keberlanjutan Budaya
KDM menempatkan budaya sebagai poros kebijakan—suatu strategi yang kuat untuk membangun identitas dan mendongkrak kebanggaan lokal. Namun, ketika budaya diwujudkan dalam proyek fisik (gapura, fasad, museum), aspek keotentikan, konteks sejarah, partisipasi publik, dan transparansi menjadi krusial agar simbol tidak berubah menjadi polemik yang menggerus legitimasi.
Masyarakat berperan ganda: sebagai penerima manfaat dan pengawas, yang keduanya menentukan apakah kebijakan budaya benar-benar memperkuat akar budaya atau sekadar estetika politik.
Sumber pilihan (laporan dan analisis)
- Liputan perihal Jejak Budaya KDM dan penghargaan Satyalancana Kebudayaan. (Media Indonesia)
- Analisis liputan fitur tentang gaya kepemimpinan budaya dan program budaya di Purwakarta/Jabar. (kumparan)
- Laporan dan foto arsitektur gerbang Gedung Sate; informasi desain dan anggaran. (detikcom)
- Berbagai reaksi media massa dan pernyataan KDM soal kontroversi gapura (MetroBogor, PRFM, TintaHijau, Jabar Ekspres). (Metro Bogor - Kabar Bogor 24 Jam)
- Kajian akademis dan esai tentang hubungan budaya lokal dengan kebijakan publik (analisis kepemimpinan budaya). (Academia)
Belanja Online, Banyak Diskon. Klik aja!
Inilah Saklar Terbaik untuk Istana Anda!


Tidak ada komentar:
Harap beri komentar yang positif. Oke boss.....
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.