Mari kita pahami perbedaan pendekatan kebijakan fiskal antara dua tokoh penting: Sri Mulyani dan Purbaya Yudhi Sadewa.
🧭 Perbedaan Strategi: Sri Mulyani vs. Purbaya
🔍 Mengapa Sri Mulyani Tidak Mengucurkan Dana Rp200 Triliun?
Menurut pengamat ekonomi Bhima Yudhistira, Sri Mulyani pernah diingatkan soal risiko inflasi saat mengambil kebijakan burden sharing di masa pandemi. Ia memilih untuk menjaga stabilitas moneter dan kepercayaan investor, karena:
- Uang beredar (M2) saat itu sudah tinggi → risiko inflasi meningkat.
- Independensi Bank Indonesia bisa terganggu jika pemerintah terlalu agresif menarik kas negara.
- Permintaan kredit belum pulih sepenuhnya, sehingga dana besar bisa mengendap tanpa efek nyata.
Sri Mulyani lebih fokus pada penguatan struktur fiskal dan reformasi pajak, bukan injeksi langsung ke bank.
🚀 Mengapa Purbaya Melakukan Terobosan Rp200 Triliun?
Begitu menjabat, Purbaya membaca situasi berbeda:
- Kas negara terlalu lama “parkir” di Bank Indonesia tanpa dampak langsung ke ekonomi riil.
- Dunia usaha masih kesulitan akses kredit, padahal pemulihan ekonomi butuh dorongan.
- Ia ingin memacu pertumbuhan ekonomi 6–6,5% dalam 1–2 tahun.
Dana Rp200 triliun disalurkan ke lima bank Himbara (BRI, BNI, Mandiri, BTN, BSI) dengan syarat:
- Harus disalurkan ke sektor riil.
- Tidak boleh digunakan untuk beli Surat Berharga Negara.
- Harus dilaporkan ke Kemenkeu setiap bulan
- .
🧠 Intinya:
- Sri Mulyani lebih konservatif dan berhati-hati terhadap risiko makroekonomi.
- Purbaya lebih agresif dan berani mengambil langkah fiskal ekspansif untuk mendorong kredit dan konsumsi.
Tidak ada komentar:
Harap beri komentar yang positif. Oke boss.....
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.